Pahang, Diskresi.com – Di tengah derasnya arus transformasi digital, kemitraan antarperguruan tinggi Islam swasta kian menemukan makna strategis. Universiti College of Yayasan Pahang (UCYP), Malaysia, dan Asosiasi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (APTIKIS) Indonesia memperlihatkan wujud kolaborasi itu dalam Southeast Asia Symposium in AI Powered Pedagogy, Selasa (5/8/2025), di Dewan Aqua Crystal, kampus utama UCYP, Pahang.

Forum ini menghadirkan para pemimpin akademik dari 14 perguruan tinggi swasta Islam se-Asia Tenggara. Sorotan utama terarah pada Ketua Umum DPP APTIKIS, Dr. H. Maslim Halimin, M.M., yang tampil sebagai keynote speaker dengan pesan strategis: kecerdasan buatan (AI) harus dibaca bukan semata teknologi, melainkan ekosistem nilai yang menentukan arah kreativitas generasi mendatang.

“AI bisa menumbuhkan kreativitas, namun ia juga bisa menjadi ancaman. Itu semua bergantung pada bagaimana kita memakainya,” tegas Maslim, mengajak audiens berpikir melampaui jargon kemajuan teknologi.

Pesan itu bergema seiring pandangan Dr. Ismail Suardi Wekke, anggota Dewan Pakar APTIKIS, yang juga Adjunct Professor di UCYP sejak 2019 dan Scientific Committee dalam International Conference on Islam and Higher Education (ICIHE). Ismail menekankan bahwa AI adalah instrumen netral yang harus dipandu etika dan spiritualitas. “Literasi digital kita harus menyentuh nilai. Bukan sekadar menguasai algoritma, tetapi memastikan teknologi membebaskan, bukan membelenggu,” ungkapnya.

Keberadaan Ismail di forum ini membawa napas strategis lain: peluang pengembangan studi doktoral (PhD) di bidang Islamic Studies melalui jejaring akademik internasional. Dalam pertemuan bilateral tertutup pasca simposium, APTIKIS dan UCYP membicarakan perluasan kerja sama, mulai dari riset bersama, pertukaran dosen, pengembangan kurikulum berbasis AI, hingga membuka jalur khusus PhD bagi dosen-dosen perguruan tinggi Islam swasta di Indonesia.

Tak berhenti di sana, Ismail juga mengusulkan agar ICIHE 2026 digelar di Bali. Gagasan ini langsung mendapat sambutan positif, mengingat Bali dapat menjadi titik temu akademisi Muslim global di ruang dialog yang terbuka dan inklusif.

“Simposium ini hanyalah pintu masuk. Kita ingin membangun jejaring keilmuan Islam yang berdaya saing global, adaptif terhadap era digital, dan tetap memelihara identitas nilai,” ujar Maslim dalam wawancara khusus.

Rangkaian diskusi yang digelar hari itu meliputi tema-tema hangat: AI dalam metodologi pengajaran, etika algoritma dalam perspektif Islam, hingga strategi inklusif untuk pendidikan berbasis data. Di setiap panel, terjalin semangat kolektif untuk memastikan perguruan tinggi Islam swasta tidak menjadi penonton dalam revolusi teknologi, melainkan aktor utama yang membentuk arah perubahan.

Di akhir pertemuan, satu pesan mengkristal: batas negara tak lagi menjadi penghalang ketika visi bersama terpatri kuat. APTIKIS dan UCYP telah menunjukkan bahwa kerja sama lintas kampus dan lintas negara adalah kunci untuk mengangkat pendidikan tinggi Islam ke panggung dunia — dari Pahang, menuju Bali 2026, dan melangkah lebih jauh ke masa depan. (*)