Jakarta, Diskresi.com — Malam di kawasan Daan Mogot, Jakarta Barat, belum sepenuhnya larut ketika sorot lampu di depan Studio 5 Indosiar menembus udara lembap.
Ratusan orang datang berombongan. Mereka mengenakan atribut serupa: bendera kecil, poster bergambar satu nama — Syakirah.
Suasana di luar studio sudah seperti pesta rakyat. Dari pengeras suara terdengar alunan musik Bugis yang samar, bersaing dengan riuh penonton yang datang dari berbagai daerah.
Dari Manado hingga Sumatra, dari Jabodetabek hingga Timor Leste. Namun, suara paling banyak datang dari satu tempat — Sidrap, Sulawesi Selatan.
Malam itu, Rabu (5/11/2025), Studio 5 Indosiar seolah menjadi milik Sidrap.
Di antara penonton, ada yang menempuh perjalanan berhari-hari hanya untuk menyaksikan penampilan penyanyi muda asal Tanrutedong itu.
“Ponakan kami nyanyi malam ini,” kata seorang ibu di barisan depan, tersenyum lebar sambil mengibaskan kipas tangan. “Kami dari Tanrutedong.”
Di barisan tengah, seorang pria berkemeja abu terlihat sibuk mengatur barisan pendukung.
Dialah IJ, koordinator Syakirah Lovers”. Suaranya tegas, tapi ramah.
“Tertib, tapi semangat,” ujarnya singkat, sebelum memberi aba-aba kepada ratusan pendukung di sekitarnya.
Tak lama kemudian, layar besar di depan studio menampilkan wajah Bupati Sidenreng Rappang (Sidrap), H. Syaharuddin Alrif. Ia tersenyum dari balik layar — tersambung lewat video call dari Sidrap.
“Jadilah penonton yang tertib dan damai,” pesannya.
“Bawa nama baik Sidrap, daerah lumbung padi dan tanah para santri. Tempat lahir para penghafal Al-Qur’an.”
Suara bupati sedikit bergetar sebelum menutup dengan tiga kalimat yang khas Bugis:
“Sipakalebbi, Sipakario rio, Saromase.”
Sorak langsung menggema. Beberapa pendukung meneteskan air mata. Ada rasa bangga yang sulit dijelaskan — bahwa malam itu, nama Sidrap terdengar sampai panggung nasional.
Di ruang rias belakang panggung, Syakirah duduk diam di depan cermin. Sorot lampu bulat di sekelilingnya memantulkan wajah yang tenang.
Tak banyak bicara, hanya bibirnya yang bergerak perlahan, seperti mengulang lirik di dalam hati.
Suasana menjelang tampil terasa hening. Namun, di luar, studio sudah bergetar oleh sorakan.
Dari barisan depan, masuk rombongan Fenny Frans, pengusaha skincare ternama asal Makassar. Gaunnya sederhana, tapi penuh percaya diri.
Malam sebelumnya, Fenny sudah mengirim virtual gift “D’BOSS”. Malam berikutnya, ia menambah lagi — “D’BOSS” dan “D’SULTAN”.
Dua malam berturut-turut. “Dari Makassar,” kata seorang kru di belakang panggung sambil tertawa kecil.
Tak jauh darinya, Novita Mustafa, pemilik butik Putri Baju Bodo Tanrutedong, datang membawa rombongan. Semua mengenakan busana tradisional Bugis. Cantik dan anggun. Ia juga mengirim gift.
“Ini bukan hanya dukungan,” kata Novita. “Ini kebanggaan.”
Sementara di sisi kiri studio, Jannah, selebgram asal Tanrutedong yang kini tinggal di Bali bersama suaminya yang warga Australia, datang bersama anaknya.
Ia memeluk sang anak sambil tersenyum, “Kami harus lihat langsung. Ini sejarah kecil bagi Sidrap.”
Lampu panggung redup.
Countdown dimulai.
Tiga… dua… satu…
Nama “SYAQIRAH – SIDRAP” muncul di layar raksasa.
Intro musik mengalun. Sorot lampu putih menembus kabut tipis dari bawah panggung.
Ketika nada pertama keluar, suasana berubah. Penonton diam. Semua mata tertuju ke satu titik.
Suara Syakirah lembut, tapi penuh tenaga. Ada ketulusan di setiap liriknya.
Di meja juri, Soimah menatap tanpa berkedip. Wika Salim menunduk pelan, seolah menahan emosi. Dewi Persik berdiri. Lalu dua juri lain ikut bangkit. Standing ovation.
Sorak pecah serentak.
Saya melihat IJ di tribun. Ia berteriak sekuat tenaga, suaranya kalah oleh ribuan pendukung. Tangannya menabuh drum kecil, diikuti hentakan ritme dari barisan belakang. “D’BOSS! D’BOSS!” bergema di seluruh ruangan.
Di layar belakang, wajah Bupati Syaharuddin Alrif kembali muncul. Kali ini bukan hanya senyum. Ada air mata di sudut matanya.
“Terima kasih, Nak. Engkau membawa nama Sidrap setinggi ini,” ucapnya pelan.
Kata-kata sederhana, tapi menembus ke hati.
Usai lagu, studio hening beberapa detik. Syakirah menunduk. Lalu tersenyum.
Ia tahu, malam itu ia tidak hanya bernyanyi. Ia sedang mewakili sebuah daerah.
Di luar panggung, dukungan terus mengalir.
Putri Isnari DA datang bersama ibu mertuanya dari Kalimantan Timur.
Vania LIDA hadir dari Palu.
Mas Nanang, pencipta lagu, datang bersama istri.
Bahkan produser muda Rusdi (Ical) ikut hadir bersama rombongannya.
“Anak ini punya warna,” kata Ical singkat. “Dan warna itu milik Sidrap.”
Setelah lampu studio padam, suasana belum benar-benar selesai.
Penonton masih tertib di kursinya. Tak satu pun sampah tertinggal.
Pesan bupati tadi malam tampaknya benar-benar dipegang: tertib, damai, dan berwibawa.
Di tengah sisa confetti dan bendera kecil yang berserakan, saya melihat Syakirah berjalan keluar panggung. Ia masih memegang mikrofon. Wajahnya teduh.
“Gugup tadi?” tanya saya.
“Iya, tapi saya ingat pesan IJ sebelum tampil,” ujarnya sambil tersenyum.
“Nyanyilah untuk semua yang percaya padamu.”
Ia melangkah pelan menuju pintu keluar.
Udara Jakarta terasa dingin, tapi semangat Sidrap malam itu masih panas.
Dari kejauhan, lampu panggung satu per satu padam.
Namun, cahaya di wajah para pendukung itu tetap menyala.
Saya menulis kalimat terakhir malam itu:
“Tidak semua cahaya datang dari ibu kota. Kadang, cahaya itu datang dari desa kecil yang tahu cara bermimpi.”
Dan malam itu, mimpi itu bernama Syakirah — disapa dengan bangga oleh Bupati Syaharuddin Alrif via video call, didukung oleh IJ dan ratusan warga Sidrap dari seluruh penjuru negeri.
Sidrap malam itu bukan sekadar “lumbung padi.”
Ia menjelma menjadi lumbung bakat, lumbung semangat, dan lumbung kebanggaan.
Dari Tanrutedong, suara kecil itu kini menggema ke seluruh Indonesia.
Dan seluruh negeri tahu — Sidrap tidak hanya menanam padi,
tapi juga menanam harapan.(*)
