Makassar, Diskresi.com — Di sebuah ruang virtual yang mempertemukan dua hati yang sempat retak, Jaksa dari Kejaksaan Negeri Sidenreng Rappang akhirnya menyaksikan sesuatu yang tak selalu muncul dalam perkara pidana: air mata maaf.

Kasus penganiayaan ringan antara dua ibu rumah tangga di Sidrap ini bermula dari urusan utang emas yang belum lunas. Hari itu, 21 Agustus 2025, NA (45) dan suaminya SN (45) mendatangi rumah NI (50) untuk menagih sisa pembayaran. Namun, kata yang seharusnya menjadi jembatan justru berubah menjadi bara. Dorongan, cakaran, dan amarah pun pecah.

NI mengalami luka di wajah dan tangan, sementara NA juga tak luput dari lecet akibat perkelahian singkat itu. Keduanya saling melapor, saling merasa menjadi korban. Tapi di balik berkas perkara yang kaku, para jaksa di Sidrap melihat sesuatu yang lebih dalam: konflik sosial yang sejatinya bisa dipulihkan tanpa penjara.

Melalui pendekatan Restorative Justice (RJ), tim jaksa fasilitator mempertemukan kedua pihak untuk bermusyawarah. Bukan di ruang sidang yang menegangkan, melainkan dalam ruang mediasi yang hangat dan dijaga agar setara. Prosesnya tidak sehari dua hari. Ada air mata, ada penyesalan, ada juga gengsi yang perlahan luluh.

Akhirnya, NA, SN, dan NI saling memaafkan. Mereka menandatangani surat perdamaian tanpa tekanan, sepakat untuk mengakhiri perkara dan tidak menuntut ganti rugi apa pun. Dalam proses itu, Kejari Sidrap memastikan seluruh unsur Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Keadilan Restoratif terpenuhi: ancaman pidana di bawah lima tahun, pelaku baru pertama kali, dan perdamaian dilakukan tulus tanpa paksaan.

Ekspose perkara digelar di Kejati Sulawesi Selatan, Rabu (22/10/2025), dipimpin oleh Wakil Kepala Kejati Sulsel, Robert M. Tacoy, didampingi Aspidum Rizal Syah Nyaman, serta Koordinator Koko Erwinto Danarko. Dari Sidrap, Kajari Sutikno dan jajarannya mengikuti secara daring.

“Keadilan restoratif ini bukan sekadar penyelesaian hukum, tapi penyembuhan sosial. Kami tidak hanya menutup berkas, tapi membantu warga kembali hidup berdampingan tanpa dendam,” ujar Robert M. Tacoy dalam keterangannya.

Usai disetujui, Kejati memerintahkan agar kedua tersangka dibebaskan, sekaligus menjalani sanksi sosial membersihkan rumah ibadah di lingkungan tempat tinggal mereka. Sebuah simbol bahwa kesalahan harus ditebus, tapi dengan perbuatan baik, bukan dengan kebencian.

Langkah Kejati Sulsel ini kembali menegaskan komitmen lembaga penegak hukum untuk menempatkan keadilan secara manusiawi. Di banyak daerah, model penyelesaian seperti ini terbukti lebih efektif memulihkan hubungan sosial dibanding sekadar hukuman formal.

Di Sidrap, dua ibu rumah tangga yang sempat saling menjambak kini bisa saling sapa kembali. Tidak ada yang kalah atau menang. Hanya pelajaran hidup yang tertinggal: bahwa keadilan sejati tak selalu datang dari vonis, melainkan dari keberanian untuk memaafkan. (*)