Makassar, Diskresi — Di antara ribuan kasus korupsi yang menumpuk di meja hijau, tiga nama ini jadi sorotan: Jaluh Ramjani, Setia Dinnor, dan Enos Bandaso.
Ketiganya adalah terdakwa dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jaringan perpipaan air limbah di Kota Makassar, Zona Barat Laut, Tahun Anggaran 2020-2021. Nilai proyeknya besar. Anggaran negaranya pun terluka—kerugian ditaksir mencapai Rp7,29 miliar.
Namun, Rabu (12/3/2025), suasana berubah.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Makassar mengabulkan permohonan penangguhan penahanan. Ketiganya kini berstatus tahanan kota, bukan lagi tahanan rumah tahanan (Rutan). Keputusan ini berlaku sejak 19 Maret hingga 19 Mei 2025.
Putusan dikeluarkan lewat tiga surat penetapan resmi:
Nomor 14/Pid.Sus-Tpk/2025/PN Mks – Setia Dinnor
Nomor 15/Pid.Sus-Tpk/2025/PN Mks – Jaluh Ramjani
Nomor 16/Pid.Sus-Tpk/2025/PN Mks – Enos Bandaso
Tiga syarat krusial pun mengikat:
Hadir di setiap persidangan.
Tidak boleh meninggalkan Kota Makassar tanpa izin.
Dilarang mengulangi perbuatan pidana.
Jika salah satu syarat dilanggar, status penahanan akan dikembalikan ke Rutan Makassar tanpa kompromi.
Tak hanya itu, ada dua lapis jaminan yang diajukan:
Uang jaminan Rp50 juta per terdakwa, disetor ke Kepaniteraan Tipikor PN Makassar.
Jaminan pribadi dari istri dan penasihat hukum masing-masing terdakwa.
Langkah ini menimbulkan perdebatan. Di satu sisi, hukum membolehkan. Di sisi lain, publik bertanya—apakah uang dan jaminan keluarga cukup untuk mengunci potensi pelarian atau penghilangan barang bukti?
Soetarmi, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, menegaskan: “Status tahanan kota tidak menghapus proses hukum. Sidang tetap berjalan.”
Besok, Rabu (9/4/2025), sidang lanjutan akan digelar di PN Makassar dengan agenda pemeriksaan saksi. Jaksa Penuntut Umum dari Kejati Sulsel dipastikan hadir lengkap.
Tindak pidana yang didakwakan bukan perkara sepele. Ketiganya dijerat dengan:
Primair: Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor
Subsidair: Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor
Keduanya dikaitkan dengan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan.
Secara yuridis, mereka terancam hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda miliaran rupiah. Namun secara sosiologis, perkara ini membuka diskusi panjang tentang keadilan, kepercayaan publik, dan efektivitas sistem penahanan di kasus korupsi.
Uang bisa dijadikan jaminan. Tapi bagaimana dengan kepercayaan?
Sidang selanjutnya bisa jadi jawabannya.