Tolitoli, Diskresi.com – Suasana pesta pernikahan di Desa Galumpang menuju Dusun Panyapu, Kecamatan Dakopamean, Kabupaten Tolitoli, berubah menjadi duka mendalam. Jembatan gantung yang menurut warga belum lama dibangun pascatragedi banjir yang pernah melanda wilayah tersebut itu ambruk pada Minggu sore (07/09/2025).

Satu korban jiwa bernama Bahtiar meninggal dunia setelah sempat dirawat akibat luka serius. Ia mengembuskan napas terakhir pada Kamis sore (11/09/2025).

Kepergian Bahtiar meninggalkan luka mendalam. Ia menyisakan seorang anak berusia tiga tahun yang kini harus tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tuanya. Sang istri telah lebih dahulu meninggal dunia tahun lalu karena sakit.

> “Kami sangat terpukul. Anak korban masih sangat kecil dan sudah kehilangan kedua orang tuanya. Harapan kami pemerintah bisa memberi perhatian,” kata salah satu kerabat Bahtiar.

 

Ambruknya jembatan ini bukan hanya merobohkan kayu dan besi penopang, tetapi juga meruntuhkan rasa aman masyarakat. Infrastruktur yang seharusnya menjadi penghubung kehidupan, justru membawa petaka.

Saat kejadian, jembatan dipadati warga yang hendak menghadiri pesta pernikahan. Diduga, jembatan tidak mampu menahan beban berlebih. Akibatnya, sekitar 10 orang menjadi korban, sebagian mengalami patah tulang dan luka-luka.

Tragedi ini menimbulkan sorotan tajam terhadap kualitas pembangunan. Pasalnya, jembatan gantung Galumpang–Panyapu tersebut baru diresmikan sekitar setahun lalu. Warga pun mulai mempertanyakan bagaimana proses pengawasan dilakukan dan siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas peristiwa ini.

> “Kalau bangunan baru saja runtuh, bagaimana dengan jembatan lain di wilayah Kabupaten Tolitoli?” ucap seorang warga dengan nada kesal.

 

Kini, kepergian Bahtiar bukan hanya kehilangan besar bagi keluarganya, tetapi juga menjadi simbol rapuhnya kepercayaan masyarakat terhadap keamanan infrastruktur. Seorang balita harus menjalani hidup sebagai yatim piatu akibat runtuhnya jembatan yang seharusnya memberi perlindungan.

Siapakah yang harus bertanggung jawab atas tragedi ini? Apakah kualitas pembangunan yang bermasalah, atau lemahnya pengawasan pemerintah? Pertanyaan ini kini menggantung di benak masyarakat Tolitoli. (*)