Ada yang tidak berubah di tengah Jakarta yang terus berlari: kesetiaan.
Ia tidak berisik, tidak berpose. Tapi bekerja. Setiap hari. Tanpa jeda.
Laporan: Edy Basri
Sekira pukul 11.30 siang, Jakarta masih gaduh.
Mobil berbaris di sepanjang Jalan Cempaka Putih Tengah.
Langit siang itu cerah, tapi panasnya menggigit.
Kami ber-23 orang dari Ikatan Wartawan Online (IWO) Sidrap, plus seorang rekan IWO dari Gowa nebeng ke kami baru saja meninggalkan Hotel Mega Cikini.
Tujuan kami: Mess Kantor Perwakilan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidrap di Jakarta — tempat yang sering disebut orang Sidrap di ibu kota sebagai “rumah kedua”.
Sebelum berangkat, saya sempat menelepon Ibu Hasny Listyanti, Kepala Kantor Perwakilan Pemkab Sidrap di Jakarta.
Suaranya lembut, tapi berwibawa.
“Silakan, Pak Edy. Semua sudah saya siapkan. Mess siap menampung rombongan IWO Sidrap,” katanya.
Setelah mendapat ACC, kami pun beranjak.
Tak lama, mobil berhenti di depan pagar hitam berlogo Pemkab Sidrap.
Dari dalam, perempuan berkerudung hitam lembut menyambut kami.
Senyumnya hangat. Sikapnya tenang. Dialah Hasny Listyanti.
Begitu turun dari mobil, suasana langsung cair.
“Selamat datang, Pak Edy, teman-teman IWO,” katanya pelan, seraya mempersilakan kami masuk.
Tangannya menuntun, matanya ramah.
Kami disambut seperti keluarga yang lama tak pulang.
Mess itu bersih, rapi, dengan udara sejuk dari pendingin yang baru diservis.
Hasny tampak menguasai setiap sudut ruangan — seperti seseorang yang tidak hanya bekerja di sana, tapi menjaga tempat itu.
Di tengah percakapan ringan, Hasny sempat berkata lembut,
“Bapak Bupati Sidrap, H. Syaharuddin Alrif, juga sedang di mess, Pak. Kebetulan beliau sedang istirahat di kamar.”
Nada suaranya tenang, penuh hormat.
Saya mengangguk, tersenyum.
Saya sendiri baru sempat bertemu Bupati Syaharuddin keesokan paginya.
Pagi itu orang nomor wahid di Sidrap itu akan melanjutkan agendanya ke Kantor Bank Indonesia (BI) bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Itulah hari pertama kami di Mess Sidrap, Cempaka Putih.
Dan sejak saat itu, saya tahu:
ada sosok perempuan yang menjalankan peran besar di balik kehidupan administratif Sidrap di Jakarta.
Sudah dua dekade lebih Hasny memegang amanah ini.
Sejak era Bupati Rusdi Masse (RMS) dua periode, berlanjut di masa Dollah Mando, hingga kini di era Syaharuddin Alrif.
Tiga masa kepemimpinan, satu sosok yang tetap bertahan — karena kerja dan kesetiaannya.
Tugasnya tidak ringan.
Menghubungkan Pemkab Sidrap dengan kementerian dan lembaga pusat.
Menyampaikan kebijakan daerah ke meja Jakarta.
Mengurus administrasi, menjamu tamu, mengawal program.
Bahkan mengatur dan merawat aset daerah milik Pemkab Sidrap yang tersebar di ibu kota.
Semua itu dijalankannya dengan teliti.
Tanpa keluh, tanpa suara keras.
Hanya ketekunan yang konstan.
Pagi hari, ia bisa berada di kantor kementerian.
Siang, menerima tamu di ruang perwakilan.
Sore, mengecek kondisi mess: air, listrik, cat, taman.
Dan malam, sering kali masih ia gunakan untuk menulis laporan atau sekadar memastikan semua pintu terkunci.
Ia seperti penjaga lilin di tengah hiruk pikuk Jakarta.
Bekerja dalam senyap, tapi cahayanya terasa.
Hasny tidak hanya menjalankan tugas formal.
Ia juga menjadi penopang sosial bagi warga Sidrap di perantauan.
Mahasiswa, pegawai, bahkan masyarakat biasa sering datang meminta bantuan atau sekadar tempat berteduh sementara.
“Siapa pun dari Sidrap, selama ada tempat kosong, silakan. Itu amanah langsung dari Bapak Bupati (Syaharuddin Alrif,red),” katanya.
Di balik kesibukannya, Hasny tetaplah seorang ibu.
Ia masih mengurus keluarga di Jakarta.
Menyiapkan sarapan. Menemani anak.
Menjalani hidup dengan keseimbangan yang luar biasa antara tugas dan rumah.
“Kalau tidak pandai atur hati, Jakarta bisa melelahkan,” ucapnya lirih.
Kata-katanya sederhana, tapi mengandung kekuatan yang halus.
Saya masih ingat malam itu.
Ketika semua rombongan sudah tertidur, saya duduk di teras mess.
Lampu taman memantul di daun-daun hijau.
Dari balik jendela, tampak Ibu Hasny menulis sesuatu di buku laporan aset.
Rautnya tenang, matanya fokus.
Perempuan ini tidak mengejar sorotan.
Ia tidak mencari panggung.
Tapi tanpa dirinya, Sidrap akan kehilangan banyak hal di Jakarta.
Karena di tengah kota yang tidak pernah benar-benar tidur, ada seorang perempuan yang tetap setia menjaga nama baik daerahnya.
Sidrap beruntung memiliki Hasny Listyanti
perempuan yang menjaga, merawat, dan menghadirkan Sidrap dalam wajah yang penuh wibawa di ibu kota. (*)
